
Dalam perkembangannya, konsepsi tentang HAM atas lingkungan hidup baru nampak jelas pada saat diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Manusia di Stockholm, Swedia, pada 5-6 Juni 1972, yang mencetuskan Deklarasi Stockholm. Konferensi ini merupakan pijakan awal dari kesadaran komunitas internasional akan pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup sebagai bagian mendasar bagi pemenuhan HAM. Dalam Prinsip 2134 dan Prinsip 1135 Declaration on the Human Environment dari Konferensi Stockholm, menyatakan bahwa negara memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan kekayaan alamnya sesuai dengan kebijaksanaan pengamanan dan pemeliharaan lingkungannya. Dalam pemanfaatan tersebut negara bertanggungjawab atas setiap kegiatan yang merugikan lingkungan atau wilayah negara lain yang berada di luar yurisdiksi nasionalnya.[1]
Pada dasarnya hak imunitas bagi pejuang lingkungan hidup ini bermula dari eksistensi pasal 28H Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. [2]Dan kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang ini secara tegas disebutkan kembali mengenai lingkungan hidup pada Pasal 9 Ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”[3]
Piagam hak asasi manusia yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Tap MPR No. XVII/MPR/1998 yang ditetapkan oleh Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Di antaranya menyatakan, bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam ketaatan kepada-Nya. Manusia dianugerahi hak asasi dan memiliki tanggungjawab serta kewajiban untuk menjamin keberadaan, harkat, martabat kemuliaan kemanusiaan serta menjaga keharmonisan kehidupan. Pandangan dan sikap bangsa terhadap hak asasi manusia yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.[4]
Munculnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup karena bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia, bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan, dan bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.[5]
Dalam Pasal 70 telah menerangkan secara tegas bagaiamana kewajiban dan/atau peran masyarakat dalam mewujudukan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran tersebut diantaranya:[6]
- pengawasan sosial
- pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
- penyampaian informasi dan/atau laporan
Peran masyarakat ini kemudian diberikan hak imunitas atau kekebalan yang tercantum dalam pasal 66, berbunyi bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”[7] Hak imunitas ini diberikan tidak lain sebagai bentuk meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, mnumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup
[1]Iskandar, Konsepsi Dan Pengaturan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat (Kajian Perspektif Hak Asasi Manusia Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup), Artikel, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
[2] Pasal 28H Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
[3] Pasal 9 Ayat 3, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
[4] Lihat dan bandingkan dengan Pan Mohamad Faiz, Embrio Dan Perkembangan Pembatasan Ham Di Indonesia, Jurnal Hukum, 19 November 2007, hlm. 1-2.
[5] Lihat Pertimbangan Undang-undang Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
[6] Ibid, Lihat Pasal 70 Ayat 1-2
[7] Ibid, Lihat pasal 66