Resensi Buku Konflik Pertanahan: Politik Pertanahan Yang Responsif

Resensi Buku Konflik Pertanahan: Politik Pertanahan Yang Responsif

 

Judul : Konflik Pertanahan
Penulis : Dr. Bernhard Limbong, S.sos., S.H., M.H.
Penerbit : Margaretha Pustaka
Terbit : Februari 2012 ( CetakanPertama)
ISBN : 978-602-97866-4-4
Halaman : 395 Halaman + xiv

Maraknya konflik pertanahan di negara kita belakangan ini tidak terlepas dari politik pertanahan yang ada. Sejumlah pakar dan pemerhati masalah pertanahan juga mengakui hal ini. Konflik pertanahan muncul ketika hak men­guasai negara dan fungsi sosial tanah dihadapkan dengan hak asasi warga negara, khususnya hak milik individu dan hak komunal (tanah ulayat).
Di satu sisi melalui hak menguasai negara (HMN), Negara memiliki kewenan­gan tunggal yang sangat besar untuk mengelola pembagian, penguasaan, pemanfaatan, dan peruntukan tanah. Sementara di sisi lain, rakyat, yang sudah ada sebelum negara ada, melekat pada dirinya sejumlah hak asasi seperti hak hidup, hak ekono­mi, hak politik, hak sosial, hak budaya, dan hak ekologi.
Benturan tidak perlu terjadi jika politik agraria dan poli­tik hukum agraria mampu menjaga keseimbangan antara HMN dan HAM karena keduanya sama-sama diamanatkan dalam Konstitusi UUD1945. Sesuai perintah Konstitusi Pasal 33 UUD1945, HMN atas tanah harus bermuara pada ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’ Konstitusi yang sama juga mengakui hak asasi warga negara, termasuk di dalamnya hak milik.
Tidak dapat ditampik pula bahwa sengketa agraria adalah puncak gunung es dari berbagai jenis konflik lainnya yang juga mendasar, baik aspek hukum keagrariaan maupun non-agraria seperti sejarah tanah, so­sial budaya, politik agraria, politik hukum pertanahan. Faktor hukum mencakup regulasi, penegakan hukum dan HAM, dan administrasi pertanahan. Faktor nonhukum meliputi aspek ekonomi, politik, sosial budaya, globalisasi, perkembangan ip­tek, dan kesadaran hukum masyarakat.
Sehubungan dengan itu, politik agraria sudah seharusnya berorien­tasi pada kesejahteraan seluruh rakyat. Demikian juga politik hu­kum agraria, harus menjamin kepastian hukum yang berkeadilan. Keduanya bertemu di satu titik, yaitu tujuan NKRI yang termak­tub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua hal ini juga menjadi pokok pikiran dari Bernhard Limbong dalam bukunya yang berjudul Konflik Pertanahan. Penulis menganjurkan dua hal yang lebih bersifat antisipatoris dan preventif dalam hubungan dengan konflik pertanahan. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan pertanahan yang lebih responsif dan mendesak dilakukan reformasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Politik Pertanahan yang Responsif
Menilik betapa peliknya konflik pertanahan yang se­dang melanda negeri ini, Penulis melihat bahwa negeri ini membutuhkan kebijakan pertanahan yang lebih responsif pada masa mendatang. Responsif di sini berarti menjawabi kebutuhan masyarakat di bidang pertanahan pada masa mendatang. Responsif juga berarti nilai-nilai fundamental (fundamen­tal values) yang terkandung dalam Pancasila dan Konstitusi yang selalu melekat sepanjang negara ini eksis dan survive harus menjadi jiwa dari kebijakan pertanahan.
Upaya responsif yang harus menjadi prioritas adalah melakukan beberapa hal mendasar terkait solusi terhadap konflik pertanahan yang ada saat ini, di antaranya: memben­tuk komisi penyelesian konflik pertanahan, reforma agraria sebagai suatu kemendesakan sekaligus refromasi regulasi, melakukan penguatan kelembagaan BPN, dan membentuk lembaga peradilan khusus untuk masalah pertanahan.
Pembentukan komisi penyelesaian konflik pertanahan ini dalam rangka memberikan prioritas pada penangangan dan penyelesaian konflik per­tanahan. Konflik pertanahan yang melanda bangsa ini begitu banyak dengan berbagai tipologi. Karena itu, perlu adanya lembaga khusus yang menangani dan menyelesaikan konflik pertanahan secara serius, sistematis, dan efektif.
Menilik belum terjaminnya keadilan agraria dan akses terhadap tanah bagi para petani terutama petani gurem, Penulis menegaskan bahwa reformasi agraria harus dibuktikan dalam tindakan nyata, bukan sekadar konsep atau teori semata. Apalagi, Tap MPR No. IX/2001 menugaskan DPR bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini.
Mandat ini seyogyanya ditindaklanjuti se­cara konkret oleh Pemerintah dan DPR dengan me-review peraturan perundang-undangan yang ada dan mensinkronkannya serta menyesuaikannya dengan prinsip dan arahan kebi­jakan yang dimandatkan dalam ketetapan ini. Pelaksanaan reforma agraria tentu akan menghasilkan politik hukum pertanahan yang mampu menjamin perlindungan hukum dan peningkatan kesejahteraan serta mendorong kegiatan ekonomi bagi masyarakat.
Selain itu, BPN sebagai institusi yang diberikan kewenangan khusus untuk mengelola pertanahan nasional harus dibe­nahi secara kelembagaan dan organisasi mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Penguatan secara kelembagaan perlu dilakukan pada instansi BPN. Good governance (tata kelola yang baik) perlu dijalankan oleh BPN dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya. BPN juga perlu meningkatkan koordinasi dengan lem­baga atau institusi pemerintah lainnya. Dalam konflik tanah perkebunan dan pengambilan tanah hutan negara, misal­nya, BPN berkordinasi dengan kementerian terkait dalam hal menangani dan menyelesaikan konflik. Karenanya, kewenangan yang diberikan kepada instansi BPN harus lebih besar dalam rangka berkordinasi dengan kementerian-kementeriaan terkait dalam menyelesaikan konflik pertanahan.
Masalah pertanahan telah menjadi persoalan bangsa yang sifatnya kompleks terutama karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Tanah merupakan sarana produksi dan turut menjamin kesejahteraan rakyat. Akibatnya, konf­lik pertanahan rawan terjadi terutama bila masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap tanah. Maka dari itu, perlu dibentuk lembaga peradilan khusus di bidang pertanahan. Lembaga ini berfungsi sebagai lembaga terakhir dalam me­nyelesaikan konflik pertanahan.

Sinkronisasi dan Reformasi Regulasi
Konflik pertanahan selama ini, juga dipicu oleh ketidaksinkronan materi produk perundang-undangan pertanahan. Materi peraturan perundang-undangan yang ada tidak sinkron dan tumpang tindih dengan materi UUPA yang dianggap sebagai payung hukum perundang-undangan di bidang pertanahan (agraria). Malahan, muncul pelbagai undang-undang sektoral di antaranya, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 7/2004 tentang sumber daya Air, UU No 18/2004 tentang perkebunan, UU No 27 /2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan dan Mineral, hing­ga UU no 25/2007 tentang Penanaman Modal. Kehadiran berbagai UU sektoral tersebut bahkan mulai menggerus kedudukan UUPA sebagai UU payung (umbrella act).
UU Kehutanan, misalnya, disinyalisasi menghidupkan kembali asas domein verklaring. Padahal, hukum kolonial itu telah dihapus pada konsiderans UUPA. Jika rakyat tidak dapat membuktikan hak formalnya, kawasan tersebut dikukuhkan sebagai kawasan hutan. Selain itu, UU Kehutanan jelas bertentangan dengan UUPA secara keseluruhan karena membatasi wewenang UUPA hanya berlaku di luar kawasan kehutanan.
Selain UU Kehutanan, UU Perkebunan juga bertentangan dengan UUPA. UU Perkebunan justru tidak membatasi kepemilikan pengusaha perkebunan seh­ingga perusahaan dapat memiliki jutaan hektar perkebunan. Padahal, Pasal 8 UUPA dengan tegas melarang kepemilikan tanah yang melampaui batas.
Ketidaksinkronan materi yang terkandung da­lam uu sektoral dengan materi muatan UUPA tentu memicu terjadinya konflik hukum. Bahkan, konflik hukum juga terjadi antara uu sektoral itu sendiri. Sehubungan dengan itu, reformasi regulasi juga men­desak untuk dilakukan demi mewujudkan kepastian hu­kum dan keadilan dalam bidang agraria.
Reformasi regu­lasi berarti memberangus Inkonsistensi dan ambivalensi kebijakan, serta tumpang tindihnya peraturan dan perun­dang-undangan pertanahan. Dengan dilakukan reformasi regulasi, peraturan perundang-undangan dalam bidang pertanahan dapat disinkronkan sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan harus berlandaskan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dan prinsip-prinsip dalam UUPA sehingga mampu menjamin kepastian hukum dan keadilan agraria.

 

Oleh Vincent

Sumber: http://vcrtn.blogspot.co.id/2016/11/resensi-buku-konflik-pertanahan.html