
Keadilan adalah sebuah pertanyaan yang acap kali kita dengar, namun pemahaman yang tepat justru rumit bahkan abstrak, terlebih apabila dikatikan dengan pelbagai kepentingan yang demikian kompleks. Keadilan menurut Aristoteles, dalam karyanya “nichomachean ethics” artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata lain. keadilan adalah kebajikan yang utama. Menurut Aristoteles, Justicia consist in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality” prinsip ini beranjak dari asumsi “untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama, secara proporsional.[1]
Upianus, menggambarkan keadilan sebagai justicia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi (keadilan adalah kehendak terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya. Thomas Aquinas, dalam hubungannya dengan keadilan mengajukan tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu:
- Hubungan antara individu (ordo partium ad partes)
- Hubungan antar masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (ordo totius ad partes)
- Hubungan antara individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium ad totum)
Menurut Thomas Aquinas keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia (acceptio personarum) dan keluruhannya (dignitas). Dalam konteks keadilan distributif, keadilan dan kepatuhan (equity) tidak tercapai semata mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan jga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya (aequalitas rei ad rem).[2]
Menurut Rawls, adalah tidak adil mengorbankan hak dari satu atau beberapa orang hanya demi keuntungan ekonomis yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Sikap ini justru bertentangan dengan keadilan sebagai fairness, yang menuntut prinsip kebebasan yang sama sebagai basis yang melandasi pengaturan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya pertimbangan ekonomis tidak boleh bertentangan dengan prinsip kebebasan dan hak yang sama bagi semua orang. Dengan kata lain, keputusan sosial yang membuat akibat bagi semua anggota masyarakat harus dibuat atas dasar hak (Right Based Weight) daripada atas dasar manfaat (good based weight). Hanya dengan itu keadilan sebagai fairness.
Rawls mencoba menawarkan suatu bentuk penyelesaian yang terkait dengan problematika keadilan dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak.[3] Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas – asas keadilan yang dipilih bersama dengan benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional, dan sederajat.
Kontrak, menurut John Rawls juga, merupakan tindakan tertentu atas subjek hubungan manusia yang akan menjadi landasan dalam menentukan kebenaran. Sebagai kebajikan utama manusia, keadilan tidak dapat diganggu gugat karena kepentingan keduanya bagi tujuan mulia manusia. John Rawls, mengemukakakn keadilan sebagai fairness sejalan dengan keadilan berkontrak, di mana doktrin kontrak menegakkan batas-batas tertentu terhadap konsepsi barang yang berasal dari prioritas keadilan di atas konsepsi efisiensi dan kebebeasan pada umumnya. Pemikiran tersebut sejalan dengan asas perjanjian berupa konsensualisme. Dengan adanya asas ini, pada dasarnya, para pihak menyandarkan pelaksanaan perjanjian setelah sebelumnya terjadi kesepakatan mengenai hal – hal yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing.[4]
[1] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta:Kencana Prenadamedia Group,2010),hal 48
[2] Ibid , Hal 49
[3] Ibid, Hal, 55
[4] Wiwoho, Keadilan Berkontrak, (Jakarta: Penaku, 2017), hal.30