
DPR meyakini proses redistribusi lahan akan berjalan lebih mudah dengan adanya payung hukum berupa UU tentang Pertanahan. Saat ini, UU tersebut masih dalam proses pembahasan antara DPR dan pemerintah dan diharapkan bisa terbit tahun ini. UU Pertanahan akan mengatur mekanisme redistribusi lahan kepada yang berhak sekaligus mengatur instansi mana saja yang terlibat dalam proses tersebut.
Anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan mengungkapkan, proses redistribusi aset atau lahan yang merupakan bagian dari program reforma agraria tidak hanya melibatkan satu instansi, sehingga koordinasi antarinstansi menjadi sangat penting.
“Kami optimistis semua akan lebih mudah nantinya kalau UU Pertanahan sudah ada, saat ini kami sedang membahas RUU Pertanahan bersama pemerintah, ini nanti akan semakin memperjelas hak, kedudukan, serta kewenangan seluruh stakeholder pertanahan,” ujar dia di Jakarta, kemarin, seperti dilansir  Investor Daily.
Dalam proses redistribusi lahan, sejumlah instansi perlu dilibatkan, yakni Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN terkait tanah dan tata ruang, Kementerian Dalam Negeri terkait tata batas wilayah berikut kepala daerah yang meliputi gubernur, bupati, dan walikota, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup khususnya dirjen planologi terkait kawasan hutan, Kementerian BUMN terkait penguasaan Perhutani, Inhutani, PTPN, Berdikari yang oleh peraturan perundang-undangan secara atributif diberikan hak untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan atas lahan, juga Kementerian Pertanian seperti dirjen perkebunan, dan Kementerian Energi dan sumber Daya Mineral terkait aktivitas pertambangan mineral dan batubara.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil mengungkapkan, UU Pertanahan memang dijadwalkan segera terbit. Saat ini telah memasuki proses penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) oleh pemerintah atas rancangan UU itu.
“Dalam 34 bulan lagi akan ada UU Pertanahan,” kata dia.
Sedangkan Dirjen Tata Ruang Kementerian ATR Yuswenda A Tumenggung mengatakan, dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dalam program redistribusi aset tersebut akan disiapkan lahan seluas 9 juta ha.
“Lahan tersebut bisa berasal tanah negara, tanah terlantar atau bisa tanah yang berasal dari tanah perkebunan. Tanah hak ulayat tidak termasuk dan berbeda,” kata Yuswenda.
Arteria Dahlan menuturkan, program reforma agraria merupakan sikap politik negara yang harus dijalankan secara konsisten dan berani oleh penguasa sebagaimana amanat UU Pokok Agraria. Reforma agraria di dalamnya termasuk proses redistribusi lahan.
“Redistribusi aset merupakan bagian dari nawacita Pak Jokowi. Dalam redistribusi aset termasuk pengakuan atas hak masyarakat hukum adat. Ini sikap politik negara sehingga tentu kami mengapresiasinya,” kata dia.
Sebelumnya, Presiden Jokowi berencana melakukan redistribusi aset dengan membagian tanah bersertifikat seluas 12,7 juta hektare (ha) kepada rakyat miskin, termasuk kelompok tani, masyarakat adat, koperasi, dan engusaha golongan ekonomi lemah bahkan UMKM. Lahan tersebut sudah terindentifikasi yang diperoleh melalui program Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) dan hasil pemetaan bidang tanah yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN yang lokasinya tersebar di 34 provinsi.
Namun demikian, kata Arteria, pihaknya secara pasti belum mengetahui lahan yang disiapkan tersebut. Sebab, Kementerian ATR sampai rapat dengan DPR pada 22 Februari 2017 belum menginformasikan dari mana dan di mana saja lokasi bidang tanah tersebut berasal. “Belum tahu, apakah tanah-tanah itu dari kawasan hutan, yang seluas 4,1 juta ha yang sejatinya hutan adat maupun kawasan hutan lainnya, atau merupakan hasil identifikasi atas tanah terlantar yang berasal dari Kementrian ATR,” jelas dia.
Secara Kolektif
Arteria Dahlan juga mengatakan, pihaknya juga belum mengetahui berapa banyak orang Indonesia yang akan mendapatkan tanah dari proses redistribusi aset tersebut karena saat ini masih dalam proses inventarisasi. Tapi secara prinsip, rakyat miskin yang memiliki ketergantungan langsung dengan tanah yang bersangkutan harus diberikan hak, baik petani, buruh tani, buruh, dan pekerja mandiri, masyarakat hukum adat, koperasi dan lainnya. “Pembagian tanah ini dilaksanakan secara gratis tanpa dipungut biaya dan pendistribusiannya akan kolektif bukan perorangan seperti hak milik yang bersifat komunal,” kata politsi PDIP itu.
Selain itu, kata dia, aset atau lahan dari proses redistribusi aset tersebut tidak bisa dipeijualbelikan atau dilakukan pengalihan kepada pihak.ketiga. Hal itu akan tertulis secara jelas dalam sertifikat tanah yang nantinya diberikan negara tersebut. “Dalam pembahasan bersama pemerintah, sempat dibahas bahwa minimal dalam 10-20 tahun tanah tersebut tidak bisa dialihkan ke pihak ketiga. Hal ini untuk memastikan redistribusi aset negara secara gratis tersebut tepat sasaran, yakni kepada rakyat yang benar benar membutuhkan dan akan menjadikan tanah tersebut sebagai alat produksi yang mampu meningkatkan taraf hidup maupun kesejahteraan masyarakat,” jelas dia.