Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarata enyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Tata Kelola BUMN: Model Komposisi dan Kompensasi Ideal untuk Komisaris BUMN” bertempat di Auditorium Lantai 9 Kampus Jakarta, seperti dilansir law.ugm.ac.id, Sabtu (11/10).
Acara yang diselenggarakan oleh Program Studi MIH UGM (Kampus Jakarta) sebagai momentum berperan aktif dalam mendorong agenda reformasi tata kelola sektor publik yang berkelanjutan. Kegiatan ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari anggota DPR RI, pejabat kementerian, ekonom, akademisi, pelaku industri, hingga masyarakat sipil.
Seminar dibuka oleh, Heribertus Jaka Triyana, selaku Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Sistem Informasi FH UGM. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa diskursus tata kelola BUMN tidak boleh semata-mata dibatasi pada aspek teknokratis, melainkan juga harus berpijak pada etika publik dan akuntabilitas. Kampus, menurutnya, memiliki tanggung jawab epistemik untuk menjadi katalisator reformasi kebijakan berbasis pengetahuan.
Selanjutnya, Guru Besar FH UGM, Paripurna, menguraikan tiga paradigma utama remunerasi: Pay for Person, Pay for Position, dan Pay for Performance. Ia menekankan bahwa kompensasi ideal bukan diukur dari besarnya angka, tetapi dari keadilan dan orientasinya terhadap nilai jangka panjang. Honorarium komisaris harus dilihat sebagai investasi untuk efektivitas pengawasan, bukan sekadar beban keuangan negara.
Sementara itu, pembicara selanjutnya adalah Deputi Keuangan dan Manajemen Risiko Kementerian BUMN 2020–2024, Nawal Nely, menjelaskan bahwa efektivitas tata kelola sangat ditentukan oleh model kepemilikan negara. Ia menyoroti tren global peralihan ke sistem kepemilikan terpusat (centralized ownership model) yang memungkinkan kontrol pemerintah lebih kuat tanpa mengurangi profesionalisme.
Hadir juga dalam acara ini adalah, anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, yang menyampaikan kegelisahan masyarakat terhadap citra BUMN yang dianggap elitis dan jauh dari kepentingan rakyat. Ia menyerukan pelarangan tegas rangkap jabatan karena konflik kepentingan merupakan akar ketidakadilan dalam pengelolaan aset negara. Kompensasi, menurutnya, harus dikaitkan dengan integritas dan kontribusi faktual.
Sementara ,Zainal Arifin Mochtar, pakar Hukum Tata Negara UGM, merujuk pada putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 dan 128/PUU-XXIII/2025, ia menegaskan bahwa pejabat publik tidak boleh berada di dua kaki: mengurus negara dan sekaligus mengawasi BUMN. Ia mendorong penerapan seleksi terbuka berbasis meritokrasi agar jabatan komisaris tidak menjadi instrumen penempatan politik.
Pembenahan tata kelola BUMN tidak dapat dilakukan secara parsial. Larangan rangkap jabatan, pembatasan tantiem, atau peraturan administratif tidak cukup tanpa reformasi kelembagaan dan sistem seleksi berbasis akuntabilitas. Para pembicara sepakat bahwa jabatan komisaris bukanlah posisi seremonial atau politik, melainkan fungsi strategis pengawasan terhadap aset negara. Paradigma baru perlu dibangun: bahwa kompensasi adalah instrumen untuk menjaga integritas, menarik talenta unggul, dan memastikan pengawasan publik berjalan efektif.
