Pengajuan Gugatan dalam Pengadilan Hubungan Industrial

Pengajuan Gugatan dalam Pengadilan Hubungan Industrial

Selama ini pemahaman masyarakat luas atas ketentuan hukum acara perdata, utamanya dalam hal mengajukan gugatan, ketentuan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg mengatur bahwa pada asasnya gugatan diajukan di Pengadilan (Negeri) di wilayah mana tergugat bertempat tinggal atau berdomisili. Lain halnya dengan ketentuan Pasal 81 UU No. 2/2004 yang mengatur bahwa gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.

Dari ketentuan tersebut nampak jelas bahwa asas actor sequitrum forum rei yang selama ini dikenal, ditinggalkan. Pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang diterapkannya asas gugatan diajukan di tempat pekerja/buruh bekerja.

Demikian halnya dengan bagaimanakah cara gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan, apakah gugatan tersebut harus diajukan dalam bentuk tertulis, ataukah dapat pula diajukan secara lisan, ternyata ketentuan undang-undang tidak mengaturnya secara tegas. Karena itu dalam praktek peradilan yang berjalan selama ini, gugatan dapat diajukan secara tertulis maupun lisan tetap dipertahankan, betapapun ternyata mayoritas gugatan diajukan secara tertulis, lebih-lebih mengingat para pihak diwakili oleh kuasa hukumnya.

Sebagaimana ketentuan hukum acara perdata pada umumnya, bahwa pihak diberi kebebasan kapan yang bersangkutan akan mengajukan gugatan di pengadilan, hal yang sama berlaku pula bagi pihak yang akan mengajukan gugatan           perselisihan hubungan industrial pada Pengadilan Hubungan Industrial.

Namun khusus bagi pekerja/buruh yang akan mengajukan gugatan atas dasar perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ditentukan bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha (Pasal 82 UU No. 2/2004) sudah tidak diperlakukan lagi karena dibatalkan oleh MK.

Untuk jenis perselisihan hubungan industrial yang lain, meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, tidak terdapat batasan waktu untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Hal yang senantiasa harus diingat oleh penggugat ialah ketika yang bersangkutan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial wajib dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, jika tidak demikian halnya, ketentuan Pasal 83 ayat (I) UU No. 2/2004 mengamanatkan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada Penggugat. Lebih dari hal itu, ketentuan ayat (2) pasal tersebut mengamanatkan pula bahwa hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatannya.

Sebagaimana yang berlaku dalam ketentuan hukum acara perdata, bahwa penggugat sewaktu-waktu dapat mencabut gugatannya, dengan ketentuan selama tergugat belum memberikan jawaban Jika ternyata tergugat telah memberikan jawaban atas gugatan penggugat tersebut, sementara itu penggugat ingin mencabut gugatannya, maka pencabutan gugatan penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hubungan industrial sepanjang tergugat menyetujuinya.

Prinsip dasar umum yang selama ini dikenal dalam hukum acara perdata ialah “beracara dikenakan biaya”, terkecuali bagi yang tidak mampu, sebagaimana dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu dari pejabat yang berkompeten; dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk beracara secara cuma-cuma (prodeo). Berbeda dengan prinsip tersebut, ketentuan Pasal 58 UU No. 2/2004 mengatur secara tegas bahwa dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya, termasuk biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).

Ketentuan demikian sangat bermanfaat dan menolong utamanya bagi kalangan pekerja/buruh, terlebih-lebih yang dikatagorikan tidak mampu dan ingin mempertahankan haknya di muka pengadilan. Namun demikian perlu kiranya dipikirkan secara mendalam dan bilamana perlu dikaji ulang, tepatkah pembebasan biaya perkara demikian itu diterapkan bagi kalangan pengusaha yang nota bene termasuk dalam golongan yang mampu ?

Ketentuan tentang pembebasan biaya perkara bagi perkara yang nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dalam praktek tidak jarang disalahgunakan, dengan cara memecah menjadi beberapa perkara, sehingga masing-masing perkara nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000,00. Karena itu dibebaskan dari biaya perkara. Dilihat dari subyek dan obyek gugatan, ternyata sama, semestinya beberapa perkara tersebut cukup dijadikan satu perkara, yang tentu saja hal demikian membawa konsekuensi penggugat dibebani membayar biaya perkara.

Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat, dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus. Itulah sebabnya serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial mewakili anggotanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *