Perikatan dalam fidusia merupakan hubungan hukum antara pihak pemberi fidusia dengan pihak penerima fidusia, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap setelah dibuatnya akta jaminan fidusia oleh notaris atau pejabat umum yang berwenang dan diajukan permohonan pendaftaran jaminan fidusia kepada Menteri Kehakiman dan Hak asasi Manusia / Kantor Pendaftaran Fidusia.
Bukti dari didaftarkannya jaminan fidusia adalah terbitnya sertifikat fidusia. Dalam sertifikat fidusia tercantum irah-irah ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, hal ini menjelaskan bahwa sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Fidusia.
Menurut Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Fidusia, apabila debitur wanprestasi, maka penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri. Menjual atas kekuasaan sendiri, artinya mempunyai parate eksekusi, yaitu eksekusi yang selalu siap di tangan. Karena pelaksanaan eksekusi melalui parate eksekusi adalah di luar campur tangan pengadilan, dan tanpa harus mengikuti prosedur hukum acara, maka kreditur melalui parate eksekusi, dapat melaksanakan penjualan objek jaminan fidusia seperti menjual harta miliknya sendiri.[1]
Pengaturan mengenai eksekusi objek jaminan fidusia telah diatur sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Fidusia, yang menyatakan bahwa apabila debitur atau pemberi fidusia wanprestasi, pelaksanaan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
- Pelaksanaan title eksekutorial oleh penerima fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Fidusia.
- Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
- Penjualan di bawah tangan yang dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia, hal ini dilakukan agar dapat memperoleh harga tertinggi, sehingga menguntungkan para pihak.
Apabila pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, maka sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Fidusia, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.
Ada dua kemungkinan dari hasil pelelangan atau penjualan barang jaminan fidusia, yaitu:
- Hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, maka penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia.
- Hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan hutang, maka debitur atau pemberi fidusia tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar.
Dengan adanya pengaturan pelaksanaan eksekusi menurut Undang- Undang Fidusia, maka pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia dapat dengan mudah dilakukan oleh penerima fidusia atau kreditur
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa perusahaan kreditur atau leasing tidak bisa mengeksekusi obyek jaminan fidusia seperti kendaraan atau rumah secara sepihak. Bahkan, perusahaan leasing harus meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan. Hal ini dijelaskan dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020.
Bagaimanapun, jika ditelisik lebih jauh, tidak semua eksekusi harus dilakukan melalui pengadilan. Dalam putusannya MK secara jelas menetapkan sebagai berikut:
“….terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitor keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Ada dua syarat yang disebutkan:
- tidak ada kriteria wanprestasi yang disepakati kreditur dan debitur dalam isi perjanjian mereka.
- Debitur enggan objek jaminan fidusia disita kreditur. Pengadilan menjadi penengah untuk memberikan izin eksekusi saat syarat-syaratnya terpenuhi. Sebab, jika setiap penarikan benda jaminan akibat kredit macet harus melalui pengadilan, maka pengadilan berpotensi kebanjiran permohonan eksekusi jaminan fidusia.
Dalam konteks ni dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi terkait eksekusi objek fidusia. Eksekusi objek tetap dapat dilakukan oleh perusahaan pembiayaan selama terdapat perjanjian di awal mengenai klausul wanprestasi dan cidera janji. Posisi klausul ini adalah memperjelas untuk mengeksekusi.
Dalam Undang-Undang 42/1999 tentang Jaminan Fidusia Pasal 15 ayat 1, tertulis bahwa sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan. Didalam pasal yang sama, dalam Pasal 15 ayat 3 UU tersebut tertulis bahwa jika debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak hukum untuk menjual objek fidusia. MK pun menafsirkan bahwa frasa “cidera janji” dalam UU 42/1999 tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan dengan debitur. Oleh karena itu, pada dasarnya penting untuk memasukkan klausul wanprestasi dan cidera janji.
[1] J. Satrio, Op. Cit,. Halaman 199