Strategi dan Konsep Penyelesaian Sengketa Tanah

Strategi dan Konsep Penyelesaian Sengketa Tanah

Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan strategi yang komprehensif guna mengantisipasi dan mengurangi angka sengeketa dibidang pertanahan, maka untuk itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi sebagai berikut :[1]

  1. Strategi Administrasi Negara, yang sangat membutuhkan professional yang komprehenship/holistic (multidisiplin) yang tidak bisa diserahkan kepada professional berorientasi produk, perubahan struktur organisasi sektoral bukan berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan sektoral atas dasar produk yang berdampak kebijakan yang dibuat menteri sebenarnya hanya hasil salah satu deputy yang tupoksinya produk bukan proses yang membutuhkan professional multidisiplin). Sekarang tidak bedanya format yang terjadi di Perguruan Tinggi dengan pembagian fakultasnya, apa seperti ini format Administrasi untuk semua Kementerian di Indonesia? Reformasi administrative. Khusus bidang pertanahan harus Bagaimana?
  2. Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasi perumusan payung regulasi pertanahan Negara dapat dibentuk “KPN” Komisi Pertanahan Negara yang merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.
  3. Strategi legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan Negara, RAPBN (anggaran pendapatan dan belanja Negara sudah benar, RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah Pembangunan Negara saat belum bekerja legislative, executive pun menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrative–BPN, penguasaan tanah dominan –Kehutanan). Pertanyaannya apakah kehutanan bukan sektoral komoditas? Mengapa menguasai tanah Negara dan semua sektor mengacu kalau tidak mau dikatakan berbenturan dengan penguasaan oleh kehutanan yang sebenarnya penguasaannya oleh kekuasaan Negara. Sehingga perlu pertanyaan besar dimana letak demokrasinya untuk rakyat tanpa kekuasaan Negara yang bekerja (executive bersama legislative terkait dengan tanah, Mengapa anggaran bisa).

 

Sedangkan yang menjadi konseptual dalam penyelesaian sengketa pertanahan dapat dibagi menjadi 3 bagian yang saling berhubungan antar satu dengan yang lainnya, ketiga define konsep tersebut dapat diurai sebagai berikut :[2]

  1. Konsep Negara Kesejahteraan Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia

Di awal pembentukan negara Indonesia, telah ada kesadaran kebangsaan bahwa kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud lewat campur tangan Pemerintah. Pembukaan dan pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 menunjukkan bahwa cara mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia adalah dengan menjadikan peran negara melalui penyelenggaranya sebagai pemberi arahan, pembuat kebijakan dan aturan berdasarkan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.[3]

Hukum pertanahan Indonesia yang merupakan bagian dari hukum yang ada, pada prinsipnya berlandaskan pada konsep Negara kesejahteraan. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 33 Ayat (1-4) UUD 1945 hasil amandemen keempat. Selain UUD 1945. Masyarakat dikatakan sejahtera jika masyarakat tersebut telah mengalami peningkatan kualitas hidup yang layak dan bermartabat, dengan penekanan utama pada terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. UUPA mengejawantahkan tujuan/misi yang terkandung di dalam kedua peraturan perundang-undangan di atasnya tersebut dengan menetapkan sejumlah aturan mengenai prinsip dasar penguasaan tanah beserta struktur hak-haknya.

Sebagai contoh, Pasal 7 UUPA yang memuat larangan penguasaan tanah yang melampaui batas, Pasal 10 UUPA yang mewajibkan pemilik tanah pertanian untuk mengerjakan sendiri tanah garapannya secara aktif guna mencegah terjadinya pemerasan, Pasal 17 UUPA yang mengatur luas minimum dan maksimum kepemilikan tanah oleh satu keluarga atau badan hukum guna menciptakan pemerataan penguasaan tanah, dan sebagainya.

 

  1. Konsep Sociological Jurisprudence Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pemerintah Di Indonesia

Konsep ini mengacu kepada pemikiran bahwa law is a tool of social engineering,[4] dimana yang dimaksud dengan hukum sebagai alat rekayasa sosial adalah putusan pengadilan. Pemikiran Max Weber mengenai peran hukum dalam melakukan perubahan terhadap masyarakat dikaji lebih dalam oleh aliran sosiologis (sociological jurisprudence), terutama yang dilakukan Roscoe Pound pada tahun 1912.[5]

Roscoe Pound berpendapat bahwa para ahli hukum yang beraliran sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial yang ada dalam pekerjaannya, apakah itu merupakan pembuatan hukum, penafsiran atau penerapan aturan-aturan hukum itu sendiri. Para ahli hukum harus mampu secara lebih cerdas memperhitungkan fakta-fakta sosial yang harus diserap dalam hukum dan yang kemudian menjadi sasaran penerapannya. Untuk itu, Roscoe Pound menyarankan supaya perhatian lebih terarah pada efek-efek nyata dari institusi dan doktrin hukum, karena kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.

Agar hukum dapat lebih memenuhi kebutuhan masyarakat, kondisikondisi social yang paling mutakhir perlu diperhatikan. Singkatnya, dengan mengakomodasi perkembangan terakhir dari fakta-fakta social dalam arti kebutuhan, kepentingan dan aspirasi masyarakat, fungsi hukum sebagai social engineering akan lebih transformatif.

 

  1. Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Dan Pembangunan Masyarakat

Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat didasarkan pada konsep law as a tool of social engineering yang tumbuh pada mazhab sociological jurisprudence, yang kelahirannya dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Dalam konsep hukum sebagai sarana pembaharuan ini, penekanan kata hukum lebih condong kepada  peraturan perundang-undangan, di mana hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Artinya, hukum yang dikehendaki adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat setempat. Ini berarti bahwa living law-lah yang menjadi pusat perhatian.

Apabila konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat dikaitkan dengan praktik pengadilan yang menangani sengketa tanah di Indonesia dewasa ini, dapat dikatakan bahwa badan peradilan, melalui keputusannya seharusnya merupakan media untuk menciptakan ketertiban dibidang pertanahan.[6]Oleh karena itu, penegakan prinsip keadilan dan demokrasi ekonomi perlu disertai kepedulian terhadap kaum lemah, penggalian potensi bangsa, baik sebagai konsumen, pengusaha maupun sebagai tenaga kerja tanpa membedakan suku, agama dan gender untuk memperoleh kesempatan, perlindungan dan hak untuk meningkatkan taraf hidupnya maupun untuk turut berperan aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk dalam memanfaatkan serta memelihara tanah sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia.

Dalam rangka memanfaatkan dan menggunakan tanah sebagai salah satu sumber daya agraria secara adil, transparan dan produktif, keberadaan hak ulayat dan masyarakat adatnya perlu diperhatikan.[7]Selain itu, kelengkapan data mengenai keberadaan, jumlah/luas tanah beserta status penguasaannya haruslah lengkap dan up to date, sehingga dengan demikian akan tercipta tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Kalaupun terjadi sengketa atas tanah di suatu wilayah, dapat segera diatasi oleh pejabat setempat dan hasil penyelesaian sengketa tersebut akan lebih dapat diterima para pihak yang bertikai. Kondisi inilah yang nantinya akan menciptakan pembaharuan hukum pertanahan dan sekaligus pembangunan masyarakatnya. Pembaharuan hukum pertanahan yang didahului oleh pengembangan kebijakan pertanahan tentunya harus diawali dengan pengembangan hukum pertanahan sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Namun demikian, pengembangan tersebut semestinya tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dasar yang ada pada UUPA sebagai ketentuan pokok hukum pertanahan nasional.[8]

[1] A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung. Mandar Maju, Hal 82

 

 

[2] Efendi Perangin. 1983. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktis Hukum, Jakarta. CV Rajawali, Hal. 72

[3]    Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustka Utama, Jakarta, 2002. Hal 56

 

 

[4]  Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. Hal 48

[5] Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Hal. 82

 

[6] Henri Lie A. Weng. 1970. Hukum Perdata dan Hukum Benda, Yogyakarta Liberty, Hal 63

[7] Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Jakarta. Rineka Cipta, Hal 71

 

[8] Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Jakarta. Sinar Grafika.