Teori Pemidanaan: Sebuah Utas

Teori Pemidanaan: Sebuah Utas

Teori Pemidanaan  pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar yaitu:

1. Teori absolute atau teori pembalasan (vergeldigns theorien).

2. Teori relative atau teori tujuan (doel theorien).

3. Teori menggabungkan (verenigings theorien).[1]

Gambaran lebih jelas mengenai teori-teori pemidanaan, maka dibawah ini akan dibahas satu persatu mengenai teori tersebut.

  1. Teori absolut atau teori pembalasan (Retributive/Vergeldings Theorien).

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindakan pidana (quia peccatum est) dan pidanamerupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel.

Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi dari pada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan.

Jadi  fungsi  pidana  di  sini  adalah  pembalasan bagi orang yang melakukan kejahatan dan untuk memuaskan tuntutan keadilan, sehingga keberadaan pemidanaan  itu  sendiri  tergantung  pada  ada  tidaknya kejahatan .[2]

  • Teori relatif atau teori tujuan (Utilitarian / Doel Theorien).

Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat dan mengurangi frakuensi kejahatan. Karena tujuannya yang bermanfaat ini maka teori relatif disebut juga teori tujuan (utilitarian theory) dimana pidana dijatuhkan bukan karena orang itu telah membuat kejahatan (quia peccatum est) tetapi supaya orang itu jangan melakukan kejahatan lagi (nepeccetur).[3]

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu atau pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatan, melainkan untuk memelihara ketertiban umum.

Dalam ilmu pengetahuan pidana, teori relatif ini dapat dibagi 2 (dua), yakni:

  1. Prevensi umum (generale preventi );[4]

Pada intinya, prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan pejabat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana.

  • Prevensi khusus (speciale preventie);

Pada intinya prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar terpidana jangan melakukan atau mengulangi perbuatannya lagi dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.[5]

  • Teori Gabungan (Verenings theorien).

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan, penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.[6]

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Uraian di atas semakin dapat menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana memiliki banyak keterbatasan dalam mengendalikan kejahatan.       


[1] E.Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta : Universitas Jakarta, 1958), hlm.157.

[2] Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, edisi Kedua Cetakan ke 2 : 1998), hlm,11. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan  semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hlm. harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahwa walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan.Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap pada anggota masyarakat karena apabila tidak demikian mereka semua dapat di pandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.

[3] Ibid, hlm.16.

[4] M. Sholehuddin , Sistem  Sanksi  dalam  Hukum  Pidana,  (Jakarta  :  Raja  Granfindo  Persada, 2003), hlm.76.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

Teori Pemidanaan

Teori Pemidanaan  pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar yaitu:

  1. Teori absolut atau teori pembalasan (Retributive/Vergeldings Theorien).

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindakan pidana (quia peccatum est) dan pidanamerupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel.

Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi dari pada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan.

Jadi  fungsi  pidana  di  sini  adalah  pembalasan bagi orang yang melakukan kejahatan dan untuk memuaskan tuntutan keadilan, sehingga keberadaan pemidanaan  itu  sendiri  tergantung  pada  ada  tidaknya kejahatan .[2]

  • Teori relatif atau teori tujuan (Utilitarian / Doel Theorien).

Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat dan mengurangi frakuensi kejahatan. Karena tujuannya yang bermanfaat ini maka teori relatif disebut juga teori tujuan (utilitarian theory) dimana pidana dijatuhkan bukan karena orang itu telah membuat kejahatan (quia peccatum est) tetapi supaya orang itu jangan melakukan kejahatan lagi (nepeccetur).[3]

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu atau pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatan, melainkan untuk memelihara ketertiban umum.

Dalam ilmu pengetahuan pidana, teori relatif ini dapat dibagi 2 (dua), yakni:

  1. Prevensi umum (generale preventi );[4]

Pada intinya, prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan pejabat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana.

  • Prevensi khusus (speciale preventie);

Pada intinya prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar terpidana jangan melakukan atau mengulangi perbuatannya lagi dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.[5]

  • Teori Gabungan (Verenings theorien).

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan, penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.[6]

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Uraian di atas semakin dapat menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana memiliki banyak keterbatasan dalam mengendalikan kejahatan.       


[1] E.Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta : Universitas Jakarta, 1958), hlm.157.

[2] Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, edisi Kedua Cetakan ke 2 : 1998), hlm,11. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan  semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hlm. harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahwa walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan.Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap pada anggota masyarakat karena apabila tidak demikian mereka semua dapat di pandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.

[3] Ibid, hlm.16.

[4] M. Sholehuddin , Sistem  Sanksi  dalam  Hukum  Pidana,  (Jakarta  :  Raja  Granfindo  Persada, 2003), hlm.76.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *