Memahami peran Pancasila khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Pancasila mempunyai peran di berbagai bidang, salah satunya dalam bidang ekonomi.
Ekonomi Pancasila merupakan ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai ideologi negara, yang kelima silanya, secara utuh maupun sendiri-sendiri, menjadi rujukan setiap orang Indonesia yang menekankan pada harmoni mekanisme harga dan sosial (sistem ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar yang bersasaran ekonomi kerakyatan agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ketergantungan, rasa was-was, dan rasa diperlakukan tidak adil yang memposisikan pemerintah memiliki asset produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang penting bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak.
Selain itu ekonomi yang berdasarkan Pancasila tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar individu dan sosial. Pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa. Maka sistem ekonomi Indonesia berdasarkan atas kekeluargaan seluruh bangsa. Pengembangan ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan nilai moral kemanusiaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tujuan ekonomi itu sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera.
Sejarah ekonomi Pancasila sebenarnya adalah sejarah republik Indonesia. Ia setua republik ini karena lahir dalam jantung bangsa lewat Pancasila dan UUD NRI 1945 beserta tafsirannya. Karena itu, ekonomi Pancasila bersumber langsung dari Pancasila sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan amanat pasal- pasal berikut ini:
a. Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 yaitu: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 ini sesuai dengan ayat QS. Al-A’raf/7:10, yang berbunyi:
“Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”
b. Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI 1945 yaitu:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI 1945 ini sesuai dengan ayat QS. Al-A’raf/7:96, yang berbunyi:
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami, maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
QS. Al-Baqarah/2:126, yang berbunyi:
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekah) ini, negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. “Dia (Allah) berfirman, “Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
c. Pasal 34 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 yaitu:
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Pada dasarnya berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa pada dasarnya negara menjamin kebebasan umat beragama untuk menjalankan agamanya. Dengan demikian negara berkepentingan dan bertanggungjawab untuk membina, mendidik, dan mengayomi semua umat beragama untuk menjalankan agamanya dengan aman dan bebas. Implementasi Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 dalam kehidupan perekonomian bangsa, negara berkepentingan untuk memberikan legalitas hukum bagi setiap aktifitas ekonomi yang sesuai dengan prinsip dan keyakinan masyarakat salah satunya yang kemudian juga mendasari prinsip dasar lembaga keuangan syariah. Prinsip dasar lembaga keuangan syariah ini yang kemudian diadopsi oleh Baitul Maal Wat Tamwiil (BMT).
Berbicara mengenai “Baitul Maal Wat Tamwiil” atau yang biasa disebut dengan BMT tidak akan terlepas dari lembaga keuangan, khususnya lembaga keuangan syariah. Lembaga keuangan (Financial Institution) adalah suatu perusahaan yang usahanya bergerak di bidang jasa keuangan. Artinya kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ini akan selalu berkaitan dengan bidang keuangan, apakah penghimpunan dana, menyalurkan, dan/atau jasa-jasa keuangan lainnya. Dalam dunia bisnis, lembaga keuangan mempunyai fungsi sangat penting, terutama sebagai lembaga intermediasi (financial intermediary) di antara para pemilik modal dengan pihak lain yang membutuhkannya. Hubungan antara semua pihak yang terkait dengan lembaga keuangan, harus selalu dibentuk atas dasar kontrak perjanjian/perikatan.
Dalam aspek hukum lembaga keuangan syariah, ketika akan menyusun kontrak perjanjian/perikatan, maka masing-masing pihak diwajibkan untuk mengacu pada ketentuan syariah. Keterikatan ini merupakan wujud dari fitrah perbuatan manusia yang selalu terikat dengan hukum syara. Di samping itu, bukankah dalam hukum syara’ juga memuat berbagai macam prinsip-prinsip (akad-akad) syariah yang dapat mendasari terbentuknya suatu kontrak perjanjian/perikatan? Karena itu, lembaga-lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah, maka dapat disebut Lembaga Keuangan Syariah.
Lembaga keuangan syariah berfungsi menyediakan jasa perantara bagi pemilik modal dengan perusahaan yang membutuhkan dana tersebut. Kehadiran lembaga keuangan inilah yang memfasilitasi arus peredaran uang dalam dunia bisnis, sehingga uang dari masyarakat dapat dikumpulkan melalui berbagai bentuk produk penghimpunan dana sebelum disalurkan kembali kepada yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan.
Pada tataran-tataran praktis, keberadaan lembaga-lembaga keungan syariah sekarang ini menunjukan adanya perkembangan yang semakin pesat. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran sebagaian besar umat Islam untuk melaksanakan Islam secara kaffah. Perkembangan ini tentu memberikan harapan baru bagi para pelaku usaha untuk menjalankan bisnis yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan materiil semata, tetapi juga sesuai dengan spirit hukum syariah yang menjanjikan pemenuhan kebutuhan batiniyah. Namun nilai-nilai keseimbangan ini tentu tidak boleh berjalan sendiri tanpa adanya upaya kodifiksi ilmu pengetahuan hukum.
Dalam rangka menciptakan kemaslahatan bagi para pelaku bisnis, kegiatan usaha lembaga keuangan yang berlaku harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Usaha penyesuaian yang telah dilakukan selama ini di antaranya terkait dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan/atau ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan akad-akad operasionalnya. Perubahan ini dimaksudkan untuk menciptakan sistem keuangan yang handal, baik ditinjau dari segi pemenuhan kebutuhan jasmani maupun rohani. Kebutuhan jasmani akan terpenuhi manakala lembaga keuangan bukan bank sebagai lembaga intermediasi mampu memberikan nilai tambah bagi pembangunan ekonomi.
Lahirnya lembaga keuangan syariah termasuk BMT (Baitul Maal Wat Tamwiil), sesungguhnya dilatarbelakangi oleh pelarangan riba secara tegas dalam Alquran. Sementara di sisi lain, kendati haramnya riba bersifat mutlak dan disepakati oleh setiap pribadi muslim berdasarkan ayat-ayat Alquran dan ijma’, seluruh ulama mazhab, namun perbedaan pendapat diantara mereka masih terjadi berkaitan dengan persoalan, apakah yang sesungguhnya dimaksud dengan riba yang diharamkan Alquran itu? Kenyataan ini telah menimbulkan dinamika tersendiri dalam wacana hukum Islam yang terus berlangsung sampai sekarang, pada saat kondisi zaman mengalami perkembangan luar biasa di segala lini kehidupan kemasyarakatan, termasuk bidang ekonomi.
Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia tidak diikuti dengan pengaturan atau landasan hukum yang memadai, sebagai contoh Baitul Maal wa Tamwil atau selanjutnya disebut BMT. BMT memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan jenis – jenis koperasi yang telah ada, karena selain memiliki misi komersial (baitut tamwil) juga memiliki misi sosial (baitul maal), oleh karenanya BMT bisa dikatakan sebagai jenis baru dari jenis-jenis koperasi yang telah ada.
Belum ada landasan hukum yang memadai bagi beroperasinya BMT di Indonesia, walaupun beberapa BMT mengambil bentuk hukum koperasi, namun hal ini masih bersifat pilihan, dan bukan keharusan. Untuk BMT yang berbadan hukum koperasi, maka Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi Jo Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Disisi lain, dalam prakteknya BMT melakukan kegiatan operasionalnya berdasarkan Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. : 91 /Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah.
Jika BMT memilih menggunakan badan hukum dengan bentuk koperasi, maka BMT memiliki persamaan dengan koperasi simpan pinjam mengenai status badan hukumnya yang berbentuk koperasi. Disisi lain BMT mempunyai perbedaan dengan koperasi simpan pinjam, dilihat dari prinsipnya sudah jelas berbeda karena koperasi simpan pinjam berbasis konvensional sedangkan BMT berbasis syariah. Dari sini dapat dilakukan perbandingan hukum dengan koperasi simpan pinjam mengingat adanya kekaburan hukum mengenai pengaturan BMT yang berbasis syariah dalam peraturan perundang-undangan. Dilihat dari aspek status kelembagaan, pengaturan pendirian dan konsep dasar operasional.
Di kalangan masyarakat menengah dan kecil, koperasi dan BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang paling terjangkau dan sarana paling mudah untuk memenuhi kebutuhan terhadap dana pinjaman (loan), karena persoalan pinjam meminjam atau utang piutang adalah persoalan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan perekonomian. Dalam skala mikro, BMT cukup ampuh menghambat tangan-tangan bank besar konvensional yang menarik dana masyarakat pedesaan dan kehadirannya dapat juga dikatakan membantu mengikis praktik-praktik rentenir yang telah berlangsung lama dalam kehidupan masyarakat pedesaan.. Namun demikian dalam perkembangannya, BMT juga memiliki kelemahan dan tantangan. Kelemahan dan tantangan utama, dari sisi internal selain permasalahan kualitas SDM, masih lemahnya sistem pengendalian internal dan permodalan, ialah masalah mengenai regulasi atau pengaturan mengenai BMT sendiri.
Sebagian besar umat Islam yang hati-hati dalam menjalankan perintah dan ajaran agamanya menolak menjalin hubungan bisnis dengan perbankan konvensional yang beroperasi dengan sistem bunga, kendati mereka tahu bahwa lembaga ini berperan besar dalam perjalanan panjang pembangunan ekonomi bangsa, termasuk dalam membantu kelancaran pelaksanaan ritus-ritus keagamaan mereka sendiri. Indikasinya dapat dilihat dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia dengan 84% pemeluk Islam, terdapat sedikit saja yang mau memanfaatkan fasilitas kredit berbunga dari bank konvensional.
Namun faktanya tidak banyak masyarakat Indonesia dapat mengakses pelayanan keuangan dilihat dari rasio masyarakat Indonesia yang memegang rekening mencapai 50 Juta termasuk badan usaha dan masyarakat Indonesia yang terakses dengan kredit mencapai 25-26 Juta kredit. Hal tersebut kemudian menjadi isu bagaimana inklusi keuangan benar-benar berdampak kepada masyarakat luas Indonesia. Masyarakat Indonesia yang terakses BMT saat ini mencapai 3,5 Juta orang dari 18 Juta orang total masyarakat yang terakses lembaga keuangan mikro (berdasarkan World Bank).
Memang BMT berbeda dengan bank dapat dilihat dari segi jumlah pengelolaan dana : Bank telah mengelola dana mencapai 4.300 triliun rupiah dan lembaga keuangan mikro baik yang konvensional maupun syariah mencapai 60 Triliun Rupiah. BMT yang merupakan kepanjangan dari Baitul Maal wat Tamwil ini merupakan lembaga keuangan mikro yang saat ini melayani di bidang jasa keuangan seperti tabungan, Kredit mikro untuk memenuhi kebutuhan modal usaha mikro, Zakat infaq wakaf untuk menghimpun dan membuat program penyalurannya, juga Pendampingan untuk membuat program pendampingan usaha mikro.
Pelayanan dari BMT ini sesuai dengan Dalil Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 dan 103 yang menjelaskan tentang perintah berzakat, dimana pada zaman Rasulullah baitul maal didirikan dengan fungsi untuk menyimpan uang-uang zakat dan lainya. Kemudian Dalil Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275-280.
a. QS. At-Taubah ayat 60
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
b. QS. At-Taubah ayat 103
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
c. QS. Al-Baqarah ayat 275-280
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Realita di atas merupakan faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan syariah termasuk BMT. Tujuan yang ingin dicapai para penggagasnya tidak lain untuk menampung dana umat Islam yang begitu besar dan menyalurkannya kembali kepada umat Islam terutama pengusaha-pengusaha muslim yang membutuhkan bantuan modal untuk pengembangan bisnisnya dalam bentuk pemberian fasilitas pembiayaan kepada para nasabah berdasarkan prinsip syariah, seperti murabahah, mudharabah, musyarakah, qardl dan lain-lain.