Dalam Membuat sebuah perjanjian tidak terlepas dari syarat sahnya sebuah perjanjian. Syarat-syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Hal ini sangat perlu dipahami agar tercipta sebuah perjanjian yang sah. Di dalam pasal 1320 KUHPerdata disebut empat syarat agar sebuah perjanjian itu dapat dikatakan sah, yaitu:[1]
- Sepakat bagi mereka yang mengikatnya, Dimana para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut harus sepakat dan setuju dengan apa yang akan diperjanjian tanpa adanya suatu paksaan atau kekhilafan.
- Kecakapan untuk membuat suaut perjanjian, Dimana para pihak harus memiliki kecakapan menurut hukum diantara sudah dewasa dan dalam keadaan sehat
- Suatu hal tertentu, Dimana dalam perjanjian tersebut telah ditentukan objek dari perjanjian atau hal yang diperjanjikan.
- Suatu sebab yang halal, Dimana dalam perjanjian ini harus didasari dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Pasal 1337 menerangkan bahwa yang dimaksud sebab yang halal yaitu tidak bertentangan dengan kepatutan, ketertiban umum, dan peraturan perundang-undangan.
Penerapan syarat sahnya sebuah perjanjian di atas dalam klausula baku masih menjadi perdebatan. Menurut Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”
Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya dan lazim dituangkan ke dalam sejumlah perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu.[2]
Namun yang menjadi pertanyaan apakah klausula baku sah sebagai perjanjian. Beberapa sarjana hukum mengatakan hal itu sah . Stin berpendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikat dirinya pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian itu.
Pendapat lain yang mengatak sah yaitu hondius berpendapat bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan “kebiasaaan” (gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Kemudian dipertegas oleh Sutan Remy Sjahdeni berpendapat bahwa keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan karena eksistensi perjanjian baku merupakan kenyataan.[3]
Berdasarkan maka dapat dikatakan bahwa perjanjian dengan klausula baku sah sepanjang hal itu merupakan kebiasaan para pebisnis dan lintas perdagangan. Serta suatu perjanjian baku yang di dalamnya telah memuat syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian klausula baku sah sepanjang terpenuhinya unsur formil dan materiil dalam Pasal 1320 KUH Perdata.[4]
Dengan demikian keabsahan berlakunya sebuah perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan tetapi perlu diatur aturan-aturan dasarnya sebagai aturan-aturan agar klausula-klausula atau ketentuan ketentuan dalam perjanjian baku itu, baik sebagian maupun seluruhnya, mengikat pihak lainnya.
[1] Ni Luh Putu Eka Wijayanti, Keabsahan Sebuah Perjanjian Berdasarkan Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana
[2] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Cetakan 1, (Bandung:Alumni, 1994), Hal. 46
[3] Achmad Busro, Kapita Selekta Hukum Perjanjian, (Yogyakarta:Pohon Cahaya,2013) Hal. 48
[4] Ibid, Hal 49